Review Film 24 Jam Bersama Gaspar: Menyelami Indonesia 2032

Film bertema detektif atau neo-noir selalu punya semacam percikan yang menimbulkan kesenangannya sendiri. Apalagi jika ceritanya begitu dekat dengan realitas yang kita jalani. Film terbaru garapan Anggi Noen, 24 Jam Bersama Gaspar menjadi gerbang pembuka bagi kesenangan-kesenangan tersebut. Setelah selesai menonton, saya langsung memiliki niat untuk menulis review film 24 Jam Bersama Gaspar ini.

Bukan tanpa alasan, tim Popstation.id memang telah antusias dan menantikan film yang dibintangi Reza Rahadian ini. Pasalnya, film ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya penulis Sabda Armandio yang terbit pada tahun 2016 silam. Karena sudah membaca versi novel, tentu kabar soal perilisan film ini menjadi sebuah hal yang sangat dinantikan. Beruntung, penantian ini terbayarkan.

Informasi Dasar

Review film 24 Jam Bersama Gaspar
Sinopsis Film 24 Jam Bersama Gaspar
  • Judul: 24 Jam Bersama Gaspar
  • Durasi: 1 jam 38 menit
  • Sutradara: Yosep Anggi Noen
  • Penulis: Sabda Armandio, Mohammad Irfan Ramli
  • Pemeran: Reza Rahadian, Laura Basuki, Shenina Cinnamon, Landung Simatupang, Sal Priadi, Iswadi Pratama and more.
  • Rilis: Netflix, 14 Maret 2024

Distopia dan Futuristik ala Indonesia

Futuristik Distopia Indonesia

Sudah lama rasanya kita nggak menonton film Indonesia dengan latar yang distopia. Jika disederhanakan, distopia sendiri merupakan istilah yang berkaitan dengan penggambarakan sebuah dunia atau masyarakat dimana orang-orang yang tinggal menjalani kehidupan yang nggak manusiawi. Distopia sendiri kerap dikaitkan dengan sebuah dunia yang gelap, kotor, miskin dan penuh dengan kejahatan tingkat dewa.

Terakhir kali, film Indonesia yang menggambarkan distopia kota dengan cukup kental adalah seri The Raid yang dibintangi oleh Iko Uwais. Akhirnya, 24 Jam Bersama Gaspar muncul dengan latar dunia yang digambarkan dengan baik. Dinding hitam, lampu remang-remang, teknologi semi canggih semi analog yang lebih layak disebut gagal.

Bukan sekedar distopia, 24 Jam Bersama Gaspar juga futuristik. Tapi ini bukan seperti film futuristik dengan lampu yang terang, 24 Jam Bersama Gaspar menggambarkan masa depan Indonesia tahun 2032 yang gagal dan hancur lebur, menghasilkan jurang kemiskinan yang dalam sampai-sampai anak-anak yang baru lahir berpotensi makan oli samping.

Sinematografi Tingkat Dewa

Sinematografi yang Ciamik

Salah satu sahabat saya berkomentar, film 24 Jam Bersama Gaspar bukan untuk semua orang. Menurutnya, film adaptasi dari novel karya Sabda Armandio ini bukanlah film yang akan laku layaknya film Agak Laen. Singkatnya, ini adalah tipikal film yang akan dipuji-puji para sinefil. Dan tipikal film seperti ini pasti punya sinematografi yang ciamik. Mulai dari sudut pengambilan gambar sampai pencahayaan. Tentu saja hal ini menjadi nilai plus bagi film 24 Jam Bersama Gaspar.

Cerita yang Diringkas dengan Sempurna

Adaptasi Novel yang Cukup Baik

Jika kamu pernah membaca novel 24 Jam Bersama Gaspar, kamu pasti akan mengerti bahwa Anggie Noen sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membawa cerita Gaspar yang begitu futuristik, penuh imajinasi dan penuh dialog-dialog kultur pop masuk ke layar lebar. Yup, sama seperti film adaptasi lain, akan selalu ada perubahan dan penyesuaian. Nggak adil rasanya jika kita membandingkan novel dengan film secara 1:1.

Meski ada beberapa perubahan di berbagai aspek dan pemotongan dialog-dialog antar karakter, cerita utama dari 24 Jam Bersama Gaspar rasanya berhasil dikisahkan dengan baik. Anggi Noen dengan cerdas mengambil beberapa dialog penting saja yang memang berhubungan dengan cerita. Pasalnya, ada banyak sekali dialog dalam novel yang membahas mengenai kultur pop, filsafat, sastra yang rasanya nggak akan mungkin diucapkan oleh para pemeran dalam film karena keterbatasan durasi.

Detektif, Kriminal dan Kaum Marjinal

Sebuah Cerita Detektif

24 Jam Bersama Gaspar bukanlah film yang hanya ingin pamer soal estetika semata. Film ini sendiri membawa isu tersendiri, khususnya isu pemiskinan masyarakat akibat kebijakan yang korup serta perjuangan hidup kaum marjinal yang tertindas oleh keadaan setiap harinya. Keadaan yang menekan ini membuat banyak masyarakat yang menormalisasi perampasan barang sampai kekerasan.

Hal ini digambarkan lewat scene awal soal Fight Club dan juga scene ending film 24 Jam Bersama Gaspar saat Gaspar mati dan barang-barangnya dijarah oleh orang-orang di jalan. Singkatnya, film 24 Jam Bersama Gaspar ini merupakan perpaduan yang baik antara sebuah cerita detektif, kriminal dengan sentuhan realitas politik dan sosial khususnya ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia.

Dialog yang Kaku

Dialog yang Dianggap Kaku

Jika kamu iseng membuat laman Letterboxd 24 Jam Bersama Gaspar, kamu bisa membaca berbagai review film 24 Jam Bersama Gaspar dari berbagai sudut pandang. Ada yang memberi nilai besar, ada juga yang memberi penilaian kurang baik. Jika kita membaca ulasan-ulasan yang menilai negatif film garapan Anggi Noen ini, kebanyakan orang-orang menilai bahwa dialog antar karakter dalam film ini terlalu kaku karena menggunakan bahasa yang baku.

Dialog antar karakter yang terasa kaku dan baku ini juga menjadi salah satu alasan kenapa 24 Jam Bersama Gaspar ini bukan film untuk semua orang. Kakunya dialog dalam film ini dapat dilihat dari bagaimana Gaspar merespon lawan bicaranya. Gaspar seperti berusaha untuk filosofis setiap saat dan ini terjadi hampir pada setiap dialog. Di antara banyak orang, saya merupakan orang yang merasa nggak keberatan dengan dialog dan narasinya. Namun, saya dapat mengerti kenapa orang memiliki penilaian buruk ini.

Begitulah sedikut review film 24 Jam Bersama Gaspar dari Popstation.id. Apakah kamu tertarik untuk menonton film baru dari Visinema ini? Akhir kata, Popstation.id akan memberi nilai 8/10 untuk film ini. Worth to watch!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *